Senin, 17 September 2012

(SEDIKIT) REKAM JEJAK KEKEJAMAN WESTERLING

Sumber : Kaskus

(Hanya bagian kekejaman Sang Jagal di Makasar dan Bandung yang saya upload di sini, untuk kisah hidup dan pendidikan kemiliterannya, silahkan Sahabat browsing di Google)

Sampai menjelang akhir hayatnya, dia tidak pernah mengakui kekejamannya di Indonesia, menurutnya itu adalah hal yang harus dilakukannya untuk melindungi rakyat

Bekas Serdadu komando Belanda, Herman van Goethem, mengenang kedatangan pasukannya di bawah pimpinan Westerling di Makassar, Sulawesi Selatan, “Apa yang kami termui di sana tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mayat-mayat mengambang di laut dan sungai. Rumah-rumah penduduk dibakar.”

“Sempat terpikir, ‘Apa yang bisa kami perbuat dengan pasukan sesedikit ini. Kami saat itu hanya berkekuatan 123 serdadu. Bagaimana kami harus mencetak prestasi dalam waktu singkat? Ternyata kemudian bahwa Westerling diberi kekuasaan penuh untuk memulihkan keadaan dengan caranya sendiri,” demikian Van Goethem.

Kesaksian lain juga datang dari bekas anak buah Westerling, juga bekas serdadu komando Belanda bernama Van Groenendaal. Aksi pertama pasukan komando Depot Speciale Troepen/DST (Pasukan Khusus Cadangan) masih jelas melekat di pelupuk mata Van Groenendaal.

Di pagi-pagi buta (masih gelap), 10 Desember, pasukan ini melancarkan operasi ke Batua, sebelah timur kota Makassar. Dalam radius cukup luas semua jalan diblokade oleh serdadu dari pasukan KNIL. Selanjutnya pasukan komando DST dengan bebas menyerbu kampung-kampung. Kaum pria yang berusaha melarikan diri langsung ditembak di tempat. Sisanya, ribuan laki-laki penduduk setempat, dikumpulkan di tengah-tengah sawah. Menjelang fajar, Kapten Westerling memerintahkan pasukan komando DST ini agar perempuan dan anak-anak dipisahkan dari laki-laki. Hanya laki-laki saja yang tersisa dikumpulkan di tengah-tengah sawah.



Selanjutnya di tengah sawah itu Westerling mengambil posisi di belakang meja lipat dengan dua buah pistol tersedia di atasnya. Dari staf intelijennya, Westerling mendapat daftar nama-nama ‘teroris’ (julukan Belanda untuk para pejuang kemerdekaan, red) dan mulai memanggil satu per satu dengan suara keras.

“Ketika orang itu maju ke depan, saya masih melihatnya dengan jelas di pelupuk mata, Westerling mengambil salah satu pistol dan menembak mati orang itu. Begitu seterusnya Westerling menyelesaikan seluruh daftar nama. Mereka tidak ditanya apa pun, hanya nama. Jika nama mereka ada dalam daftar, langsung dibantai,” kenang Van Groenendaal.

Menurut Van Groenendaal, hari itu sebanyak 63 penduduk dieksekusi oleh Westerling, namun menurut versi angka resmi hanya 35 orang. Mayat-mayat mereka dilucuti dari benda-benda berharga yang menempel, antara lain arloji dan semacamnya, lalu dibuang di cekungan besar.


Ketika eksekusi selesai, Westerling memerintahkan kepala kampung untuk berpidato kepada warga yang isinya menyanjung Westerling sebagai orang yang membawa kedamaian. Warga lalu menyahut dengan tangan ke atas dan berseru, ‘baru hitu’ (hidup baru). Kemudian Westerling mengangkat semacam polisi kampung, yang dilengkapi dengan tombak dari Belanda untuk melindungi kampung mereka dari ‘teroris’.
Van Groenendaal mengenang bahwa dia saat itu sudah mengatakan kepada Westerling bahwa metode eksekusi tanpa proses hukum itu tidak boleh.

Saya saat itu mengatakan kepada Westerling, ‘Ini tidak bisa! Tapi dia berkata, ‘Ini tugas saya dan kalau kamu tahu metode lain, saya akan lakukan itu. Tapi metode lain itu menurut dia tidak ada.. Sebetulnya Herman van Goethem juga keberatan dengan metode komandannya itu, tetapi dia juga tidak punya alternatif lainnya.

“Kami berpendapat bahwa ini adalah metode yang sangat kejam, tapi kami saat itu meyakini bahwa tidak ada metode lain. Dan itu terbukti dari penugasan yang kami terima: para ‘teroris’ itu harus dibereskan dalam beberapa bulan. Jadi, kami tidak bisa menyelesaikan tugas ini dengan banyak kebijakan,” ujar Van Goethem.
 Monumen Pembantaian 40.000 Warga oleh Kapten Westerling, Makasar
“Aksi seperti itu terus berlangsung. Hari-hari pertama sasarannya sekitar kota Makassar, lalu meluas ke kampung-kampung lainnya. Pasukan komando DST selama 3 bulan hampir siang malam mengeksekusi penduduk setempat dengan metode di atas,” demikian Van Goethem.

 - - o 0 o - -


Peristiwa pembantaian oleh APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Westerling

Masyarakat kota Bandung Jawa Barat dan para prajurit TNI mantan Divisi Siliwangi boleh jadi tidak bisa melupakan peristiwa berdarah berikut ini. 
Pagi itu, 23 Januari 1950, pasukan KNIL Belanda yang dipimpin seorang opsir Baret Hijau Kapten Raymon P.P. Westerling menggemparkan Kota Bandung. Pasukan tanpa atribut itu membabi buta menembaki anggota TNI Divisi Siliwangi yang berada di jalan. Mayor Sutikno dan Mayor Sacharin ditembak di depan Hotel Savoy Homann. Letkol Adolf Lembong yang pagi itu akan menghadap Komandan Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin di Gedung Stafkwartir yang terletak di Oudhospitalweg (kini Jalan Lembong) Nomor 38, tidak luput dari sasaran kekejaman westerling, sang algojo peristiwa pembantaian 40.000 penduduk Sulawesi Selatan itu. “Waktu itu, anggota Staf kwartir lainnya berusaha menyelamatkan diri lewat pintu belakang,” begitu salah satu kenangan yang disampaikan almarhum Letjen (Purn.) Dr. (HC) Mashudi.

Peristiwa itu mengakibatkan 79 anggota TNI dari Divisi Siliwangi gugur. Dalam penyelidikan kepolisian pada awal 1955 menemukan setidaknya terdapat 15 prajurit TNI lain diculik, bahkan salah seorang di antaranya berpangkat kapten. Mereka dibawa lari ke hutan di kaki Gunung Tangkubanparahu di sebelah barat Lembang oleh sebagian pasukan APRA yang dipimpin Eddy Hoffman

Makamnya di negeri Belanda


Tidak ada komentar:

Posting Komentar