Sumber : Kaskus
(Hanya bagian kekejaman Sang Jagal di Makasar dan Bandung yang saya upload di sini, untuk kisah hidup dan pendidikan kemiliterannya, silahkan Sahabat browsing di Google)
Sampai menjelang akhir hayatnya, dia tidak pernah mengakui kekejamannya di Indonesia, menurutnya itu adalah hal yang harus dilakukannya untuk melindungi rakyat
Bekas
Serdadu komando Belanda, Herman van Goethem, mengenang kedatangan
pasukannya di bawah pimpinan Westerling di Makassar, Sulawesi Selatan,
“Apa yang kami termui di sana tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Mayat-mayat mengambang di laut dan sungai. Rumah-rumah penduduk
dibakar.”
“Sempat
terpikir, ‘Apa yang bisa kami perbuat dengan pasukan sesedikit ini.
Kami saat itu hanya berkekuatan 123 serdadu. Bagaimana kami harus
mencetak prestasi dalam waktu singkat? Ternyata kemudian bahwa
Westerling diberi kekuasaan penuh untuk memulihkan keadaan dengan
caranya sendiri,” demikian Van Goethem.
Kesaksian
lain juga datang dari bekas anak buah Westerling, juga bekas serdadu
komando Belanda bernama Van Groenendaal. Aksi pertama pasukan komando
Depot Speciale Troepen/DST (Pasukan Khusus Cadangan) masih jelas melekat
di pelupuk mata Van Groenendaal.
Di
pagi-pagi buta (masih gelap), 10 Desember, pasukan ini melancarkan
operasi ke Batua, sebelah timur kota Makassar. Dalam radius cukup luas
semua jalan diblokade oleh serdadu dari pasukan KNIL. Selanjutnya
pasukan komando DST dengan bebas menyerbu kampung-kampung. Kaum
pria yang berusaha melarikan diri langsung ditembak di tempat. Sisanya,
ribuan laki-laki penduduk setempat, dikumpulkan di tengah-tengah sawah.
Menjelang fajar, Kapten Westerling memerintahkan pasukan komando DST
ini agar perempuan dan anak-anak dipisahkan dari laki-laki. Hanya
laki-laki saja yang tersisa dikumpulkan di tengah-tengah sawah.
Selanjutnya
di tengah sawah itu Westerling mengambil posisi di belakang meja lipat
dengan dua buah pistol tersedia di atasnya. Dari staf intelijennya,
Westerling mendapat daftar nama-nama ‘teroris’ (julukan Belanda untuk
para pejuang kemerdekaan, red) dan mulai memanggil satu per satu dengan
suara keras.
“Ketika
orang itu maju ke depan, saya masih melihatnya dengan jelas di pelupuk
mata, Westerling mengambil salah satu pistol dan menembak mati orang
itu. Begitu seterusnya Westerling menyelesaikan seluruh daftar nama.
Mereka tidak ditanya apa pun, hanya nama. Jika nama mereka ada dalam
daftar, langsung dibantai,” kenang Van Groenendaal.
Menurut
Van Groenendaal, hari itu sebanyak 63 penduduk dieksekusi oleh
Westerling, namun menurut versi angka resmi hanya 35 orang. Mayat-mayat
mereka dilucuti dari benda-benda berharga yang menempel, antara lain
arloji dan semacamnya, lalu dibuang di cekungan besar.
Ketika
eksekusi selesai, Westerling memerintahkan kepala kampung untuk
berpidato kepada warga yang isinya menyanjung Westerling sebagai orang
yang membawa kedamaian. Warga lalu menyahut dengan tangan ke atas dan
berseru, ‘baru hitu’ (hidup baru). Kemudian Westerling mengangkat
semacam polisi kampung, yang dilengkapi dengan tombak dari Belanda untuk
melindungi kampung mereka dari ‘teroris’.
Van
Groenendaal mengenang bahwa dia saat itu sudah mengatakan kepada
Westerling bahwa metode eksekusi tanpa proses hukum itu tidak boleh.
Saya saat itu mengatakan
kepada Westerling, ‘Ini tidak bisa! Tapi dia berkata, ‘Ini tugas saya
dan kalau kamu tahu metode lain, saya akan lakukan itu. Tapi metode lain
itu menurut dia tidak ada.. Sebetulnya Herman van Goethem juga keberatan dengan metode komandannya itu, tetapi dia juga tidak punya alternatif lainnya.
“Kami
berpendapat bahwa ini adalah metode yang sangat kejam, tapi kami saat
itu meyakini bahwa tidak ada metode lain. Dan itu terbukti dari
penugasan yang kami terima: para ‘teroris’ itu harus dibereskan dalam
beberapa bulan. Jadi, kami tidak bisa menyelesaikan tugas ini dengan
banyak kebijakan,” ujar Van Goethem.
Monumen Pembantaian 40.000 Warga oleh Kapten Westerling, Makasar
“Aksi
seperti itu terus berlangsung. Hari-hari pertama sasarannya sekitar
kota Makassar, lalu meluas ke kampung-kampung lainnya. Pasukan komando
DST selama 3 bulan hampir siang malam mengeksekusi penduduk setempat
dengan metode di atas,” demikian Van Goethem.
- - o 0 o - -
Peristiwa pembantaian oleh APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Westerling
Masyarakat
kota Bandung Jawa Barat dan para prajurit TNI mantan Divisi Siliwangi
boleh jadi tidak bisa melupakan peristiwa berdarah berikut ini.
Pagi
itu, 23 Januari 1950, pasukan KNIL Belanda yang dipimpin seorang opsir
Baret Hijau Kapten Raymon P.P. Westerling menggemparkan Kota Bandung. Pasukan tanpa atribut itu membabi buta menembaki anggota TNI Divisi Siliwangi yang berada di jalan. Mayor
Sutikno dan Mayor Sacharin ditembak di depan Hotel Savoy Homann. Letkol
Adolf Lembong yang pagi itu akan menghadap Komandan Divisi Siliwangi
Kolonel Sadikin di Gedung Stafkwartir yang terletak di Oudhospitalweg
(kini Jalan Lembong) Nomor 38, tidak luput dari sasaran kekejaman
westerling, sang algojo peristiwa pembantaian 40.000 penduduk Sulawesi
Selatan itu. “Waktu itu, anggota Staf kwartir lainnya berusaha
menyelamatkan diri lewat pintu belakang,” begitu salah satu kenangan
yang disampaikan almarhum Letjen (Purn.) Dr. (HC) Mashudi.
Peristiwa
itu mengakibatkan 79 anggota TNI dari Divisi Siliwangi gugur. Dalam
penyelidikan kepolisian pada awal 1955 menemukan setidaknya terdapat 15
prajurit TNI lain diculik, bahkan salah seorang di antaranya berpangkat
kapten. Mereka dibawa lari ke hutan di kaki Gunung Tangkubanparahu di
sebelah barat Lembang oleh sebagian pasukan APRA yang dipimpin Eddy
Hoffman
Makamnya di negeri Belanda